09
Mei
08

Kejumudan menjadi kata akhir dari setiap perbincangan perkaderan di HMI. Baik dalam perbincangan pergerakan, organisasi maupun pemikiran keumatan kebangsaan, kejumudan menjadi hasil akhir pertbincangan. Telah sekian lama organisasi ini terjerembab dalam kebekuan pikir. Pasca Nuscholis Madjid, Ahmad Wahib, Johan Effendi yang muncul sebagai generasi pendobrak tradisionalism pemikiran Islam, generasi tokoh dan Politisi semacam Akbar Tanjung, Fuad Bawazier, Ismail Hassan Metarium, kita telah kehilangan beberapa lembaran masa dan decade. Imbasnya bahwa saat ini kita telah kehilangan profil perkaderan yang iinginkan oleh organisasi-negara-bangsa ini.
Aktivitas panjang dari organisasi HMI telah mengalami masa-masa kejumudan. Baik dalam tataran ide dan tindakan (praksis) maupun kejumudan dialektika. Dibeberapa hal terjadi akibat adanya keterputusan nilai idealitas dan tataran tindakan dan pola perbuatan. Keterputusan epistemology ini terjadi akibat kurang kuatnya bangunan dasar ontologis yang dibentuk oleh organisasi ini. Menjadi PR besar bagi lembaga perkaderan di lingkup HMI untuk menjadi garda depan proses ideologisasi organisasi ini. Artinya jika proses ideologisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya maka lumprah jika proses tindakan kader akan berjalan tanpa batasan yang semestinya.
Dalam konteks perkaderan HMI maka ada beberapa koreksi yang harus dilakukan berkaitan dengan kesesuaian antara konsep perkaderan dengan capaian kader yang diinginkan oleh HMI. Mengibaratkan konsep perkaderan HMI yang ada saat ini, tentu saja tidak bisa diibaratkan sebagai mesin yang mampu mencetak kader sesuai cetakan yang diinginkan. Meskipun idealnya hasil harus identik dengan blueprint yang diinginkan dari cetakan tersebut.
Memandang proses perkaderan bukanlah mengidentikkan mesin produksi dari industri yang melahirkan produk sesuai prosesannya. Dan fungsionaris perkaderan (para ideology, trainer) bukanlah buruh pabrik yang hanya menjadi pengawas proses yang berjalan. Mengidentikkan proses perkaderan dengan mesin sama saja menempatkan perkaderan kita sebagai sebuah bentuk aktivitas passif yang berjalan. Sehingga cetakan perkaderan adalah cetakan passif yang anti dialektik dan cenderung menempatkan perkaderan sebagai bentuk penunggalan dimensi hasil olahan manusia. Disadari atau tidak kejumudan organisasi ini telah menempatkan ruang-ruang perkaderan sebagai aktivitas jumud dan sama sekali tidak menarik karena hanya menjadi formalitas organisasi yang sama sekali tidak diberi gambaran visioning.
Pada akhirnya pedoman perkaderan memang hanya menjadi ruang yang sama sekali tertutup dari proses dialektika bagi pengembangan organisasi ini. Sekali lagi jika diibaratkan mesin, maka perkaderan HMI adalah mesin yang dipaksa menghasilkan kader-kader dengan prototype sama dan sebentuk meskipun tuntutan kebutuhan sudah berubah. Sebagai penggambaran sederhana, definisi tentang kader pembela Mustadz’afin harusnya kontekstual bukan tekstual unhistoris. Sebab selayaknya bahwa jaman meniscayakan perubahan. Kondisi perjuangan kemerdekaan, pembangunanisme tentu pembacaannya berbeda dengan kondisi kungkungan globalisasi dan neoliberalisme seperti yang terjadi saat ini. Jika tidak alih-alih menciptakan generasi profetik (kenabian) yang membela kaum tertindas dan lemah, malah perkaderan HMI hanya menjadi salah satu fungsi Ideological state apparatus (ISA) Negara sebagaimana diungkapkan oleh Louis Althusser, bersama-sama dengan institusi-institusi lainnya seperti keluarga, agama, sekolah dan lain-lain. ISA bekerja berdampingan dengan Repressive State Apparatus (RSA) yaitu militer dan kepolisian. Padahal State sudah bergeser dari statusnya sebagai The Guard of Nation menjadi The Guard of Capital. Mencermati hal tersebuit tentu saja seharusnya pembacaan perkaderan HMI harus pula bergeser.
Sebagaimana yang tertuang dalam pedoman perkaderan disebutkan bahwa definisi tentang dimensi kekhalifahan sebagaimana yang diinginkan dari perkaderan HMI meliputi tugas-tugas kenabuan untuk membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi persaudaraan universal (universal brotherhood), egaliter, demokratis, social justice, dan berkeadaban (social civilization) serta istiqomah untuk memperjuangkan pembebasan kaum tertindas (mustadz’afin). Perkaderan HMI memang menuntut terbentuknya profil kader Profetik yang berpihak pada masyarakat salnya terbentuk. Sebab organisasi ini bukan semata organisasi perjuangan melainkan juga organisasi perjuangan.
Menjadi dialektika menarik ketika definisi tentang profil khalifatullah fiil ard ini kita hubunganbkan dengan kutipan berikutnya dari pedoman Perkaderan HMI bagian 3.3 tentang pengabdian kader disebutkan sebagai berikut :
“dalam rangka meningkatkan upaya mewujudakan masayarakat adil dan makmur yang diridloi oleh Allah swt, maka diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas pengabdian kader. Pengabdian kader merupakan penjabaran dari pernan HMI sebagai organisasi perjuangan.
Terjadi pergeseran yang sangat tajam seperti yang terjadi pada state, di awal berdirinya adalah ideologi keberpihakan kepada kelas tertindas tapi kemudian bergeser menjadi Apparatus pembangunanisme orde baru. Bahkan setelah rezim orde baru tumbang dan bergeser ke masa yang katanya reformasi, Perkaderan HMI tidak mengalami pergeseran yang berarti. Kita tidak menemukan bentuk baru atas profil perkaderan kita selain penyiapan sekrup-sekrup kekuasaan baru.
Catatan dari pedoman pengkaderan di atas hanya sebagian teks-teks normatif yang bisa ditelusuri untuk mencari titik perselingkuhan HMI dengan pembangunanisme. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi basis teologis HMI misalnya, dengan epistemologi bayani-nya sangat teosentris dan teologinya adalah teologi pembangunan, bukan teologi perlawanan atau semacamnya.
Lebih dari itu akibat pengaburan ISA dalam teologisasi Perjuangan HMI ini HMI tidak lagi memiliki karakter kader yang mampu menjawab kebutuhan profetik jaman. Bisa jadi inilah jawaban atas pertanyaan keterputusan epistemologis HMI. Kita tidak memiliki gambaran karakter yang nyambung dengan landasan epistemologis yang kita pilih sendiri. Mau tidak mau kita harus mengatakan bahwa ada persoalan di konseptual perkaderan kita.
Apa akibat dari ketidaknhyambungan epistemologis ini? Beberapa gambaran realitas obyektif yang terjadi di organisasi menempatkan ruang perkaderan sebagai aktivitas organisasi yang harus dilalui untuk mencapai targetan structural yang ada di organisasi. Bukannya mengatakan hal tersebut tidak baik, tetapi dalam konteks ideal hal tersebut selayaknya menjadi konsekuensi bukan keniscayaan (necessity). Inilah alasan bahwa ruang perkaderan hanyalah menjadi milik beberapa orang yang tersadarkan dan tidak terlalu merasa butuh akan ruang pengembangan struktrur sebagai bentuk mobilitas vertical kader HMI. Bukankah memang para ideology di HMI selamanya hanya akan menjadi polisi demarkasi kebenaran organisasi ini. Kalaupun sudah tidak menjadi anggota HMI (alumni) maksimal hanya mentok menjadi tokoh pemikiran anama atau bapak bangsa ini. Lihat saja profil kader Johan Effendi, Moeslim Abdurrahman dsb. Bukankah kader HMI lebih bangga menyebutkan profil kader politik dibandingkan menyebutkan profil kader seperti beliau berdua.
Fakta lainnya bahwa kader kita tidak lagi ada yang mampu menjadi Ummy bagi para kaum tertindas, tidak terdidik, kaum miskin yang mampu menyimbol menjadi ikon perkaderan HMI. Beberapa pilihan kader HMI untuk berjuang di kelompok marginal hanya jadi pilihan pahit yang jarang dilirik.
Tentu saja kalau boleh jujur mengatakan, tidak ada ummy yang mengebiri hak-hak anaknya sendiri, apalagi mengangkangi, membodohi dan menjadikan anaknya sebagai batu loncatan bagi keberhasilan vertikalnya sendiri. Jika ingin mencontoh peran nabi sebagai ummy bagi kaumnya maka selayaknya kader HMI harus dicetak menjadi kader-kader yang siap untuk kembali ke basis asalnya, yakni kaum tertindas (mustadz’afin).
Pertanyaannya apa yang harus dilakukan ditengah kondisi kejumudan (akibat aktivitas passif) ini.
Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan penting. Pertama bahwa kondisi harusnya tidak membuat kita menjadi stagnan. Minimal menjadi stagnan dalam bergerak dan kritis terhadap kondisi ini. Apapun alasannya pilihan untuk bergerak dan idealis adalah harga mati untuk membangun kembali perkaderan HMI ini. Kedua bahwa kita harus mulai meluruskan kembali konsep-konsep ketidaknyambungan arah ini menuju jalan yang semestinya. Selama HMI tidak bisa menjawab tantangan kebutuhan maka selamanya pula HMI tidak lagi menjadi Harapan Masyarakat Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. HMI hanya akan menjadi katub politik baru bagi mobilitas vertical kader-kadernya. Selayaknya pembentukan kader profetik yang menjadi ummy bagi kelas social dan masyarakatnya menjadi pilihan atas kejumudan ini. Dan awal dari langkah tersebut adalah membangun basis perkaderan yang profetik dan mampu menjawab tuntutan kebutuhan kaum Mustadz’afin Negara bangsa ini.
Persoalan kejumudan, stagnasi dialektika, pengarastunggalan perkaderan structural politis, tarikan kepentingan Negara dalam balutan ISA memang menjadi kepastersendiri dari aktivitas perkaderan kita. Dan itu bukanlah persoalan yang bisa selesai satu atau dua hari lamanya. Bahkan dalam hitungan tahun belum tentu bisa teratasi.
Meminjam kembali istilahnya Sartre, kita harus melakukan passivitas aktif. Kita harus aktiv ditengah cetakan pasif yang ada ini. Artinya kita membangun kembali egalitarian perkaderan dan pengembalian konsepsi perkaderan ke dasar awal kelahirannya. Mengembalikan perkaderan menjadi sosok dan profil yang profetik, ummy sebagaimana yang diamanatkan oleh landasan teologis organisasi ini. Perkaderan yang siap mencetak kader-kader basis yang mampu menjawab kebutuhan marginalisasi masyarakat.


0 Tanggapan to “”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Mei 2008
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031